Akhlak bangsa Konoha ini sudah sangat terdegradasi!.
Ini semua dimulai dari yang menamakan diri "pemimpin" masyarakat alias "pejabat"
Banyak pejabat yang seharusnya menjadi pengawas dan pengayom masyarakat, malah jadi "pemalak" atau "pengemis".
Jaman Orba ada istilah "uang rokok", "uang kopi", "uang jago", dan "uang damai".
Uang rokok dan uang kopi, dipakai untuk meminta persenan secara halus.
Uang jago dan uang damai, dipakai untuk meminta dengan ancaman dan paksaan terselubung.
Semua itu intinya adalah menjadi "Peminta" dan jika tidak diberi bisa berubah menjadi "Pemalak" dengan menyorongkan ancaman terselubung atau sesuatu barang milik yang diminta menjadi rusak atau hilang.!
Istilah uang rokok dan uang kopi sudah agak jarang terdengar.
Tapi uang jago masih terus terjadi, membangun rumah / proyek didatangi preman yang betulan preman jagoan setempat atau "preman" berseragam, meminta uang yang sifatnya memaksa. Pemilik rumah/kontraktor/proyek terpaksa membayar jika tidak ingin diganggu.
Begitu juga dengan uang damai, masih sering terjadi di jalan-jalan, jika tertangkap atau di prit seragam coklat atau seragam biru. Pengemudi terpaksa atau malah menawarkan uang damai, karena kalau ditilang malah jadi buang uang, buang tenaga dan buang waktu.
Sering dan masih terjadi, di hari menjelang Hari Raya dan 17an, dari preman hingga hansip, atau kadang juga RT/RW meminta sumbangan. Di hari raya Imlek, anak-anak kecil hingga remaja, sering keliling komplek, sambil berucap terus menerus: "Ci, Ko, bagi angpau-nya", yang pasti diajari orang tuanya untuk meminta. Memberi tidak masalah, tetapi berkeliling meminta itu mengajarkan dan melestarikan mental "peminta".
Mental "Peminta" ini lambat-laun menjadi kebiasaan, dari kebiasaan menjadi perilaku, dari perilaku kalau tidak diberi, si "Peminta" menjagi "Pemaksa" dan "Pemalak". Bila tidak diberi, dia merasa itu hak-nya, dan mulailah bertindak mengomel dan bahkan mau main pukul.
Mental "Peminta" ini juga ber-evolusi ke dunia pendidikan dari sekolah hingga perguruan tinggi, jika dikasih nilai rendah, tidak lulus, atau dimarahi guru/dosen, bisa berubah menjadi "pemaksa ganas", membalas secara halus (mengatai atau meledek guru/dosen), sedang (mengempesi ban kendaraan guru/dosen) hingga brutal (memukul guru/dosen). Sikap ini sering ditambah dengan sikap orang tua yang tanpa menyelami persoalan langsung mendatangi sekolah atau guru yang bersangkutan, dari protes hingga mengadukan ke kepolisian. Hal ini ditambah lagi dengan administrasi sistem akreditasi sekolah dan universitas, yang salah satunya adalah menilai dari jumlah siswa/mahasiswa yang lulus. Syarat "meminta" lulusan ini, berakibat guru/dosen memberi nilai murah, Indeks prestasi (IP) jadi tinggi, tetapi isi kepala si siswa/mahasiswa sebenarnya lebih rendah dari IP yang diberikan. Secara tak langsung ini juga merusak mental siswa/mahasiswa, mereka bisa merasa oh mereka sudah bagus, atau merasa lah gua belajar sebentar atau belajar minimal saja IP gua bagus kok. Ini semua melemahkan daya juang.
Bila kemudian setelah terjun ke masyarakat, jiwa "peminta" ini bisa terus berlanjut menjadi jiwa "korupsi". Karena kebiasaan mendapat sesuatu dengan mudah, tanpa kerja keras dan tanpa perjuangan.
Coba pikirkan benar tidak?
Mau maju? Ubahlah sikap dari "Peminta" menjadi "Pencari dan Pemberi"!!
Salam Sejahtera, MMB.
GTL, 250204-21:19 WIB