Pada prinsipnya, saya melihat, undang undang itu tujuannya baik agar ada aturan dalam PROFESSIONAL ENGINEER. Namun ada bebrapa catatan saya yaitu:
1. Tidak terpikirkan bagaimana dengan yang sudah bekerja belasan bahkan puluhan tahun sebagai insinyur, dan memasang gelar insinyur sejak lulus. Walaupun di ijazah ternyata tertulis "Sarjana Teknik". Dan menjadi praktek yang sudah berlaku sejak tahun 70-90an.
Di luar negeri cuma ada perbedaan sebutan yaitu: ENGINEER bagi yang memang bekerja sebagai insinyur dan PROFESSIONAL ENGINEER bagi insinyur yang tersertifikasi, dan tidak ada kewajiban engineer dalam bekerja menjadi professional engineer, yang ada cuma: semua proyek harus ada tanda tangan PROFESSIOAL Engineer baru boleh dilaksanakan. Catatan lain dalam hukum ada istilah COMMON LAW, yaitu sesuatu yang tidak tertulis namun yang dalam praktek sudah dianggap sebagai kebenaran di masyarakat. Dan itu diakui dalam praktek di negara-negara maju sekalipun.
2. Sebagai catatan dan saya kira bisa jadi masukan juga untuk PII. Kami di Himpunan Ahli Teknik Tanah (HATTI), sejak tahun 1993, sudah mulai membahas soal sertifikasi keahlian, kami sangat aware bahwa ini adalah isu sensitif dan berat. Setelah melalui proses pembicaraan yang sangat panjang, di awal tahun 2000an terealisasilah SKA HATTI yang kami sebut sebagai G1 dan G2, sekarang G1=Ahli feoteknik madya, dan G2=ahli geoteknik senior. Lalu bagaimana dan siapa yang berhak G2 di angkatan pertama?? Ini juga melalui pembicaraan yang sangat panjang dengan melibatkan lagi banyak orang, akhirnya dicapai kesepakatan, yaitu membuat kriteria dan mendata siapa-siapa saja yang bisa langsung diberikan G2 tanpa ujian. Setelah nama-nama yang pantas untuk diberikan didapatkan, maka syaratnya ditetapkan yaitu: yang terpilih tersebut wajib membuat makalah dan mempresentasikannya. Bagi yang tidak bisa ikut membuat makalah dan presentasi maka harus ikut ujian. Bagi yagn bisa ikut langsung diberikan G2. Dan itu kami sebut sebagai proses GRAND FATHERING. Kebetulan di hari yang ditetapkan saya tidak bisa ikut, maka sayapun diuji. Saya adalah orang pertama yang mendapat G2 HATTI lewat pengujian oleh team 5 orang.
3. Hendaknya aturan tidak bersifat tumpeng tindih. Sekarang ini ada SKA yang diterbitkan oleh LPJK dengan rekomendasi organisasi profesi, ada juga IPTB (dulu SIBP) yang dikeluarkan propinsi DKI Jakarta. Seorang yang sudah punya SKA dari LPJK tidak bisa memasukkan desain tanpa ada IPTB DKI. Kini kabarnya juga adalagi IPTB Bandung (?). Lalu sekarang ada lagi STRI dari PII. Semua itu walau katanya MUDAH, namun tetap saja membuang banyak waktu untuk mengisi segala Persyaratan administratif, juga membutuhkan biaya. Mengapa tidak ada koordinasi yang baik?
4. Mengapa tidak satu saja sertifikat keahlian? Kalau mau STRI ya yang sudah memiliki SKA otomatis diberikan STRI yang setingkat?? Baru setelah itu semua hanya punya satu sertifikat keahlian sesuai undang-undang keinsinyuran yaitu STRI dan otomatis bisa praktek di seluruh Indonesia tanpa harus punya lagi IPTB tingkat propinsi?
Catatan tambahan: banyak yang berpendapat bahwa kok seolah-olah sertifikasi ini dijadikan lahan cari uang?? Agar hal ini mendapat perhatian dari yang berwenang. Ini saya kutip ucapan seorang anak muda yang baru lulus, anak yang sangat rajin dan pantas saya acungkan jempol karena semangat belajarnya yang tinggi dan kesediaannya membeli dan membaca textbook.
“wah ribet yah pak, pdhl saya ini baru mikir2 pak sudah ribet apalagi yh sudah seperti bapak sudah praktek puluhan tahun masak dipertanyakan lagi keahliannya. Sdh ikut workshop dll tapi blm keluar juga sertifikatnya pak, nah itu dia pak making money pdhl sudah mengorbankan hal lain demi yah kesejahteraan kita pak hehehe”
GTL, 210130