Kuliah dan Tidak Kuliah

Kalau soal ditanya kowe kerja apa? Saya pernah dua kali ditanya begini:

"GTL, berapa gaji loe sekarang?"

Pertanyaan itu pertama dilontarkan sekitar Februari 1985, kedua dilontarkan pada Mei 1989. Berikut ceritanya:

1979, saat lulus SMA dan setelah penerimaan universitas. Satu dari sepuluh top rank lulusan SMA, ada yang tidak diterima di universitas manapun, dia ngedumel, ngomel, mengeluh mengapa dia yang tidak kalah pintar dengan kami-kami yang dapat kuliah tidak diterima dimana-mana, padahal sudah pakai nama Indonesia, sementara ada tiga diantara kami masih pakai nama Chinese tapi diterima di Unpar, Ukrida, dan Akademi Akuntansi

Dia lalu membantu kakaknya dari service mesin tik,  lalu saat industry personal computer dimulai, mereka mulai terjun jual computer, lalu berkembang hebat, malah super hebat.

Setelah lulus S1 sekitar 5 bulan, Februari 1985, saya ke rumah sang teman, dimana dia jual computer, saya beli computer Apple 2e, hasil kerja 5 bulan dan sedikit tabungan saat memberi les anak-anak SMP/SMA di Bandung sewaktu kuliah. Saya ingat harganya sekitar Rp. 1.3 juta. Saat itu saya ditanya: "Gaji loe berapa GTL?" Saya jawab cuma Rp. 330ribu. Side track sedikit, baru beli sekitar 3 bulan itu Apple 2e yang cuma 16kB RAM, keluar IBM computer yagn RAM nya 64 kB, saya kecewa banget, beli computer dengan memaksa diri menghabiskan seluruh tabungan, eh, beru 3 bulan sudah ketinggalan.

1987 saya kuliah S2 di AIT, Thailand, cuma bisa Wordstar, bahkan VisiCalc (spreadsheet masa itu) saya tidak bisa pakai, juga Lotus 123 tidak bisa pakai, Akibatnya semester pertama di AIT, saya kewalahan, padahal sudah Belajar sampai nangis-nangis dan sampai cuma tidur 3-4 jam sehari. Dan dalam 3 bulan kehilangan berat badan 5 kg. Bahkan kalah prestasi dengan anak Srilanka, perempuan yang lebih muda.

Nah, menyadari kalau mau maju harus punya computer pribadi, maka lulus AIT, sebulan kemudian Mei 1989, saya kembali ke rumah sang teman, yang saat itu sudah luar biasa maju. Rumah dia yang tadinya hanya kecil satu rumah, di suatu area gang buntu di Mangga Besar, saat Mei 1989 itu seluruh rumah di barisan gang buntu itu yang kalau gak salah ada sekitar 8-10 rumah, semua  sudah milik dia dan kakaknya berdua, plus dua toko di bilangan Pinangsia. Saat itu saya memutuskan beli laptop dari dia. Eh..... pertanyaan yang kembali muncul adalah:

"Berapa gaji loe sekarang?" Saya jawab jauh lah, cuma Rp. 1.25juta. Pasti jauh dengan omset loe. Saya lalu tanya balik berapa penghasilan dia. Dia bilang sesial-sialnya tiap bulan nett Rp. 60juta.

Beberapa tahun kemudian? Jelas dari segi ekonomi kami yang professional  bukan saja kalah jauh dari dia, tetapi praktis kalah jauh dibanding dengan teman-teman yang setelah lulus SMA langsung kerja dan lalu terjun ke dunia bisnis.

 Nah.....Moral of the story, ....

Orang sekolah tinggi tidak menjamin sukses besar dan kaya raya dari segi ekonomi. Namun tidak perlu berkecil hati, sukses seseorang tidak dan jangan hanya dinilai dari harta yang dimilikinya.

Dengan tetap belajar beretika dan benar-benar menjaga professionalism, kita juga bisa hidup  berkecukupan dan menolong sesama serta berkontribusi di masyarakat.

Ingat juga tanpa insinyur, tanpa orang teknik macam kita-kita ini, mereka punya duit juga praktis tidak bisa hidup enak. Memangnya tanpa enjinir akan ada mobil, akan ada rolex, akan ada gedung pencakar langit?

So, engineer, be proud of ourselves and our  profession. Berbanggalah dengan profesi kita masing-masing.

Salam sejahtera, MMB
GTL, 240817 - 23:15YVR