Barangkali generasi millennial sudah tidak kenal lagi siapa Prof. Lee Seng-Lip. Akhir 1980an – awal 2000an beliau merupakan salah satu professor yang malang-melintang, terutama terkenal di Taiwan, Hong Kong, Thailand, Singapore dan Indonesia.
Saya pertama bertemu beliau sekitar akhir 1987 di AIT (Asian Institute Technology), Bangkok, Thailand, sewaktu saya mengambil S2 geoteknik disana. Beliau adalah ahli struktur yang sekaligus saat itu juga dikenal sebagai orang yang banyak berkecimpung di dunia geoteknik. Sewaktu muda sempat kuliah di ITB dan bertermu Prof. Roseno disana. Lalu mereka pindah ke Mapua Institute of Technology, Philipina, lalu ke MIT (Massachusetts Institute of Technology) di Amerika. Sempat mengajar di NorthWestern University, dan dalam 4 tahun mendapat pengakuan sebagai full Professor. Kabarnya sempat menikah di USA, namun kemudian pisah saat beliau kembali ke Asia dan mengajar di AIT, Bangkok tahun 1969. Mereka berpisah karena sang istri kabarnya tidak betah tinggal di Asia. Kemudian beliau direkruit oleh NUS (National University of Singapore), untuk membantu membesarkan NUS. Di jurusan Teknik Sipil NUS lalu beliau mencapai puncak kesuksesannya dan dapat dikatakan menjadi “dewa”nya jusuran Sipil NUS. Semua tunduk, hormat, “takut’ pada beliau. Dikatakan dosen-dosen disana, beliau adalah bapak bagi kami semua. Jadi kata dosen-dosen disana kalau ditegur atau dimarahi beliau, ya anggap saja dimarahi orang tua sendiri. Prof. Lee pernah cerita ke saya bahwa beliau adalah orang Bogor, lahir di Bogor.
Semenjak pindah ke Asia, dan setelah ibunya meninggal dunia, beliau hanya hidup sendiri. Memilih untuk tidak menikah lagi. Karena hidup sendiri beliau tidak membeli rumah/apartemen. Sejak lama, sudah bertahun-tahun memilih menyewa satu kamar terus menerus di Goodwood Hotel.
Salah satu jejak beliau di Jakarta, Indonesia, adalah desain Gedung Dharmala di jalan Jendral Sudirman dimana beliau menjadi advisor struktur bangunan tersebut. Juga proyek reklamasi Pantai Mutiara yang berlangsung akhir tahun 1987an dan awal 1990an.
Tahun 1986-1987 proyek Pantai Mutiara di Jakarta utara itu masih dalam konsep desain. Saat itu saya bekerja untuk PT. Soletanche Bachy Indonesia (SBI), dimana bos saya waktu itu orang Prancis, Mr. J.M Debats, MSc., yang merupakan mentor geoteknik saya yang pertama dalam dunia praktek, mengusulkan pemakaian vertical drain (merek Desol buatan Prancis). Namun saat itu pemakaian vertical drain belum banyak, dan sepanjang pengetahuan saya baru diaplikasikan di kilang minyak Pertamina, Balikpapan, untuk perbaikan tanah pondasi tanki o9 dan o11 dimana saya terlibat sebagai site engineer (tahun 1985-1986) dan baru belajar sebagai desain engineer di bawah mentor kedua saya yang juga orang Prancis Bernama Michel Gambin. Mr. Debats dan Mr. Gambin merupakan orang-orang geoteknik yang sangat pandai dimana saya beruntung dapat menjadi bawahan mereka yang dipercaya untuk memegang pelaksanaan membantu, dan dilatih untuk desain proyek-proyek ground improvement dari vertical drain, dynamic compaction, grouting, micropile hingga dinding diaphragma (di Kedung Ombo). Di proyek Pantai Mutiara ini saya beberapa kali diajak Mr. Debats untuk bertemu dengan team dari Pantai Mutiara. Karena sangat sulit meyakinkan, saat itu Mr. Debats mengusulkan PT SBI melakukan trial area 100 m x 100 m tanpa biaya, tetapi beliau berkeras ada kontrak dulu yang menjamin kalau trial berhasil, maka selanjutnya perbaikan tanah diserahkan ke PT SBI. Syarat ini ditolak oleh tim proyek, sehingga PT SBI tidak mendapatkan proyek perbaikan tanah tersebut.
Di saat itu masuk Prof. Lee, kabarnya melalui big bos group pemilik proyek. Prof. Lee mengusulkan hal yang sama memakai vertical drain dengan digabungkan dengan cerucuk bambu di tepi-tepi area reklamasi dan murni vertical drain di area dalam reklamasi. Cerucuk bamboo yang diusulkan merupakan lima cluster bamboo yang diikat jadi satu dan di tengahnya dipasangi vertikal drain. Usulan Prof. Lee menjadi menarik pihak owner, karena vertical drain yang diusulkan oleh beliau sangat inovatif! Prof. Lee mengusulkan membuat vertical drain dari sabut kelapa. Vertikal drain dari sabut kelapa ini kemudian dikenal dengan nama Jute drain. Mengapa menarik? Karena besan dari owner proyek mempunyai pabrik karung goni, dan bahan baku sabut kelapa serta pabrik relatif sudah ada di Indonesia. Jadi dibuatlah jute drain dan diaplikasikan di proyek Pantai Mutiara itu. (Tentu saja usulan PT SBI dengan vertical drain buatan Prancis tidak dapat bersaing).
Kemudian tahun 1991, di konprensi HATTI (Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia) yang saya kebetulan dipercaya sebagai sekretaris HATTI dan ketua panitia penyelenggara seminar 1991 oleh senior-senior HATTI saat itu (pak Soekrisno Rammelan, pak Azis Jayaputra, pak Benny Kumara dan pak Jonas Andri), Prof. Lee sebagai salah satu pembicara saat itu sempat mendapat pertanyaan: “Apakah vertical drain dari bahan sabut kelapa itu dapat berfungsi lama dan dapat seefektif vertical drain dari luar negeri yang terbuat dari bahan polimer (saat itu Istilah geosintetik belum dikenal luas) ?” Jawaban beliau sungguh diluar dugaan dan membuat hanpir semua peserta tertawa terbahak. Mau tahu apa jawabannya? Berikut jawaban beliau:
“Buat apa anda punya panjang (maksudnya alat vital), kalau panjang tapi tak bisa memuaskan wanita? Sementara yang saya pendek tapi mampu memuaskan wanita!!!”
Itu jawabannya, dan terbahaklah para peserta. 😂
Selamat jalan Prof. Lee. RIP.
Gouw, 28 Nov, 2021