Jadi Dosen – Kerenkah?

Cetak miring di bawah ini adalah kutipan dari tulisan Asep Sandi Ruswanda di:

https://mojok.co/terminal/jadi-dosen-itu-nggak-mudah-apalagi-jadi-dosen-yang-nggak-bisa-nulis-remuk/

Kutipan:

Menjadi dosen itu tidak seindah apa yang Anda lihat di TikTok. Salah betul kalau ada anggapan kerjaan kami cuman kerja-pulang kerja pulang, salah itu. Bisa dikatakan komposisi pekerjaan kami itu 4-4-2. 40 persen nulis (penelitian), 40 persen ngisi Sister, Sinta, (Google) Scholar, dan akun-akun lainnya, dan 20 dan lainnya yang terdiri dari campuran ngajar ditambah gibahan yang isunya biasanya nggak jauh-jauh dari seputar ketidakpuasan kepada pimpinan, gaji, dan kelakuan mahasiswa.

Akhir kutipan.


Bayangkan berapa jam sebenarnya dari waktu kami sebagai dosen yang benar-benar dipakai untuk mendidik dan penelitian??  Itu isian administrasi, dari mulai isian BKD (beban kerja dosen), siter, sinta, ditambah sekarang dengan PPI, FAIP dan pekerjaan admin lainnya..... Berjam-jam bahkan berbulan-bulan habis setiap tahunnya untuk pekerjaan admin!!!

Yang konyol lagi sering kampus dalam merekrut dosen membatasi dosen dari usia, konon ini katanya juga dari pembatasan yang diberikan oleh Dikti (?).

Ada loh kenyataan rekrutmen dosen dibatasi pada usia 50 saja!! Ada loh surat tertulis penolakan berbunyi soal usia itu!!

Ini namanya diskriminasi usia! yang sudah dilarang di beberapa negara.  Diantaranya di negara tetangga kita di Singapore. 

Ditambah lagi sekarang jadi dosen tetap diminta jadi dosen tetap 40 jam (padahal banyak juga loh yang status 40 jam namun nyatanya banyak mroyek di luar).  Konon kewajiban 40 jam itu juga dari arahan atau kewajiban  yang diarahkan dari Dikti atau yayasan kampus.  Entahlah, karena banyak dosen yang tidak pernah tahu aturan-aturan yang banyak itu, yang setahu saya juga tidak pernah disosialisasikan kepada dosen-dosen sehingga saat dosen tahu,  si dosen jadi surprise alias terkejut. Bahkan di suatu kampus kata petugasnya NIDN (nomor induk dosen nasional) hanya bisa sampai usia 60. Padahal baru saja saya tahu kalau NIDN itu bisa sampai usia 65 tahun. Kok bisa gitu??

Kok menilai dosen dari usia dan dari jumlah jam di kampus?  Bukan dari kemampuan dan track record sang dosen atau sang calon dosen?

Rasanya kok ada yang salah besar dalam sistem penilaian kepada dosen, baik dari kampus, yayasan (di universitas swasta yang sering kali kolot dan kaku), hingga ke Dikti (dirjen pendidikan tinggi).  Kalau memang harus segitu banyak isian, mengapa tidak memaksa kampus untuk membentuk petugas admin yang khusus untuk itu, yang memonitor dosen,  yang tugasnya menilai dan benar-benar proaktif dalam mendata dan membantu dosen dalam memenuhi kewajiban admin itu (tentunya bukan lalu menjadi raja di atas dosen dengan merasa berkuasa yah!!).

Pendapat saya sih yah aturan-aturan yang ada harus dievaluasi ulang, aturan yang tidak tepat dan berakibat mengurangi jam kerja real dosen sepatutnya dicabut. Profesi dosen seharusnya dinilai dari disiplin sang dosen dan kemampuan dosen. Bukan dari jumlah jam dan usia dosen. Oh ya, asal tahu saja jadi dosen itu honornya tidak seberapa loh.  Honor 12 jam tidak sampai 6.5juta loh.

Kerenkah jadi dosen?? Barangkali keren di mata  masyarakat awam, namun jauh dari keren di kantong 😀😀

Salam Sejahtera, MMB

GTL, 220824