Omong-omong soal pendidikan dan mahasiswa, saya jadi teringat begini:
Dalam karir saya sebagai dosen paruh waktu sejak 1984, dari hari pertama di setiap kelas saya menerapkan peraturan bahwa jika saya sudah 15 menit di dalam kelas mahasiswa tidak lagi boleh masuk kelas apapun alasannya. Dan sampai saat ini saya praktis tidak pernah terlambat lebih dari 10 menit dan tak pernah tak masuk tanpa alasan yang sangat terpaksa, misalkan ada orang tua yang sakit atau meninggal.
Aturan itu selalu berjalan lancar, tanpa protes dari mahasiswa. Hanya pernah satu kali kalau tak salah sekitar 1995 saat rapat dosen, oleh pimpinan, ada disampaikan agar tak perlu seperti itu, karena Jakarta macet. Namun saya menjawab: “Betul, Jakarta sering macet, namun kalau ditolerir, lalu dosen juga terlambat 30 menit, mahasiswa terlambat lagi 30 menit, waktu mengajar dan belajar bukannya berkurang? Disiplin kita jadi dimana? Bukankah selama jadi siswa di SD,SMP, SMA kalau terlambat disetrap (dihukum)? Lalu apakah setelah jadi mahasiswa, karena ada kata MAHA di depan kata SISWA jadi kita boleh suka-suka masuk kelas dengan alasan Jakarta macet? Apakah dosen boleh juga dengan alasan Jakarta macet, telat masuk kelas?”. Dengan jawaban seperti itu urusan selesai. Dan peraturan saya tetap berjalan tanpa protes lagi.
Sekali lagi, aturan toleransi 15 menit itu, selalu saya tekankan di hari pertama di setiap kelas. Suatu pagi di 2019, di suatu universitas dengan gedung mentereng di ruang kelas tanpa jendela dan hanya berpenerangan lampu dan berpendingin AC, ada mahasiswa yang terlambat 35 menit, dia mendorong pintu, tanpa mengetuk, tanpa mengucapkan sepatah katapun, langsung duduk. Saya memanggil dan menunjuk sang mahasiswa, lalu tanpa berkata saya menunjuk pintu. Si mahasiswa bangkit berdiri, berjalan keluar, sesaat sebelum keluar pintu, tangannya bergerak MEMATIKAN LAMPU!! Untung masih ada proyektor yang menyala sehingga tidak menjadi gelap gulita.
Selesai kuliah saya menuju kantor administrasi dan melaporkan kejadian tersebut. Namun, rupanya sang mahasiswa lebih canggih, dia melapor ke ketua jurusan (kajur). Minggu berikutnya saya dipanggil sang kajur. Singkat kata, beliau mengatakan: “Saya menghargai disiplin yang bapak tekankan, namun biarkan sajalah pak, anak millennial memang demikian. Biarkan saja mereka mau masuk atau tidak, terlambat atau tidak.”Saya terdiam dan tak mau membantah.
Silakan pembaca menilai. Salahkah saya menerapkan disiplin?
Buat saya disiplin tepat waktu itu adalah bagian dari pendidikan!
Salam Sejahtera, MMB
GTL, 230521-17:50WIB