oleh: GOUW Tjie-Liong - 010307
-1. PERMASALAHAN
Membaca diskusi di "Indo-construction" oleh Pak Irawan Firmansyah, Pak Limasalle, Pak Yulman Munaf dan Pak Benny Kumara, penulis merasa tergelitik untuk ikut urun rembuk dalam pembicaraan mengenai konsep Spring Constant ini.
Kebetulan tahun 1998 lalu penulis mendapatkan kesempatan untuk me-review rancang bangun proyek stasiun kereta bawah tanah di luar negeri. Kepadatan tanah di lokasi stasiun tersebut lebih kurang sebagai berikut (sayang tidak bisa melampirkan gambar dalam forum diskusi ini):
Kedalaman 0 - 6 m : 0 < N < 12
Kedalaman 6 –11 m : 5 < N < 26
Kedalaman 11 –17 m : 15 < N < 68
Kedalaman 17 – 27 m : 30 < N < 80
Kedalaman > 27 m : 50 < N < 80
Disini konsep spring constant digunakan dalam mendesain pondasi raft. Ahli struktur meminta parameter spring constant tersebut kepada Geotechnical Engineer, yang kemudian memberikan parameter coef. of subgrade reaction (dinotasikan sebagai k dan dalam satuan kg/cm3). Parameter ini kemudian dikonversikan ke dalam ks dengan menggunakan persamaan Terzaghi sbb:
ks = k { (B+0.3) / (2B) }^2 (maksudnya: pangkat dua)
Dimana B adalah lebar pondasi raft. Parameter terakhir ini kemudian dipakai sebagai spring constant oleh ahli struktur dengan mengalikan ks tersebut dengan area per m persegi di bawah pondasi raft sehingga diperoleh satuan dalam kg/cm. Desain yang dihasilkan kemudian di-approved oleh PE (Professional Engineer) dan dikeluarkan dengan embel-embel "For Construction".
Tanpa menuding siapa yang salah, jelas ini suatu penerapan parameter tanah yang terlalu gegabah!! Mengapa gegabah? Begini, dalam persamaan diatas terlihat bahwa semakin besar B (untuk B > 0.3m) semakin kecil nilai ks, jelas persamaan diatas hanya memperhitungkan faktor geometris semata tanpa memperhatikan faktor kekerasan tanah. Data tanah jelas menunjukkan bahwa semakin dalam tanah semakin keras. Ini berarti tanah semakin kaku, yang selanjutnya berarti nilai ks harusnya semakin besar.
Lalu apa akibat penerapan konstanta secara salah tersebut?? Dengan maksud untuk mengurangi penurunan yang terjadi, stasiun tersebut di-desain dengan bagian tengahnya diperkuat dengan 20 lebih bored pile. Hal mana kemudian penulis buktikan tidak perlu. Namun, sayangnya, semata-mata untuk menjaga gengsi perusahaan, rancangan yang dirancang oleh junior engineers, diperiksa senior engineers, di-cap oleh Profesional Engineer dan telah dikeluarkan untuk pelaksanaan itu tetap dijalankan. Kasus diatas merupakan contoh suatu penerapan konsep konstanta pegas tanpa memperhatikan sifat-sifat dan prilaku tanah. Dan merupakan contoh adanya unsur kelalaian, gap dan kelemahan dalam hubungan antara ahli geoteknik dengan ahli struktur.
2. ULASAN
"Berapakah konstanta pegas di lokasi ini?" atau "Berapakah coef. of subgrade reaction di lokasi ini?" merupakan pertanyaan yang sering dilontarkan oleh para ahli struktur kepada kita selaku ahli geoteknik. Pertanyaan yang jarang memiliki jawaban yang langsung, apalagi jawaban yang sederhana.
Sebagaimana dikatakan oleh Pak Benny Kumara, konsep spring constants ini pertama kali diperkenalkan oleh Wrinkler pada tahun 1867. Wrinkler memodelkan pondasi dangkal diatas tanah sebagai pondasi yang berdiri diatas pegas-pegas diskrit yang berdiri sendiri-sendiri. Tahun 1955, Karl Terzaghi dalam makalahnya ‘Evaluation of coefficients of subgrade reaction’ menyajikan metoda untuk memperkirakan besaran spring constants ini. Pendekatan yang disajikan Terzaghi ini kemudian menjadi populer dan diterapkan dalam perancagan pondasi rakit dengan menggunakan model subgrade reaction. (selanjutnya penulis akan menggunakan istilah modulus of subgrade reaction atau di Indonesiakan menjadi modulus reaksi subgrade)
Kalau kita kembali ke asal muasal dari konsep ini, kita akan melihat bahwa modulus reaksi subgrade, ks(x), ini didefinisikan sebagai tekanan pondasi, p(x), dibagi dengan penurunan tanah, d(x), yang terjadi, (catatan: x adalah jarak horisontal dari tepi pondasi ke titik yang ditinjau) yaitu:
ks(x) = p(x) / d(x)
Dalam konsep ini reaksi subgrade sesungguhnya merupakan penyebaran tegangan, p(x), yang terjadi akibat reaksi tanah (subgrade) di bawah pondasi. Sesungguhnya penyebaran tegangan di bawah pondasi tidaklah linear, melainkan berbentuk kurva. Dalam tanah lempung, kurva reaksi yang timbul umumnya menyerupai parabola terbalik dengan reaksi terbesar di-tepi pondasi dan terkecil ditengah. Dan di dalam tanah pasir berbentuk parabola dengan reaksi nol di tepi-tepi pondasi. Tegangan yang timbul ini sesungguhnya merupakan fungsi dari posisi x, bentuk pembebanan dan kekakuan (EI) relatif dari struktur pondasi terhadap subgrade.
Konsep reaksi subgrade dengan memodelkan reaksi tanah sebagai pegas-pegas diskrit (Wrikler model) merupakan suatu penyederhanaan formulasi matematik dalam model elastis. Konsep konstanta pegas ini tidak memperhitungkan kenyataan bahwa reaksi pondasi disebarkan ke bawah dan membentuk bulb pressure. Penurunan tanah yang terjadi dibawah pondasi merupakan akumulasi interaksi antara tegangan-tegangan tanah dan parameter elastik tanah di setiap titik dalam bulb pressure yang terbentuk. Dengan asumsi tanah di bawah pondasi dan dalam bulb pressure yang terbentuk memiliki sifat-sifat yang seragam, Vesic (1961) mengembangkan model Wrikler ini ke dalam model elastik dan menurunkan persamaan di bawah ini:
Ks = Es / {B.Ip.(1-v^2)} (catatan: v^2 adalah poisson ratio pangkat dua)
Jelas bahwa reaksi subgrade, ks, tergantung tidak saja dari parameter elastik tanah, Es dan nv (poisson ratio), melainkan juga dari lebar pondasi, B, dan bentuk pondasi Ip.
Bilamana tanah pondasi tidak bersifat sama, melainkan berlapis-lapis dengan parameter elastik yang berbeda-beda, maka harus diterapkan suatu metoda untuk sampai kepada parameter elastik yang representatif untuk diterapkan ke dalam persamaan diatas. Poulos dan Davis, 1974, telah mengembangkan berbagai persamaan matematis untuk menghitung penurunan tanah pondasi dengan model elastik ini.
Nah, jelas bahwa untuk sampai kepada nilai modulus reaksi subgrade yang representatif, haruslah terlebih dahulu dihitung besarnya penurunan yang akan terjadi. Lalu mengapa kita harus repot-repot untuk meng-konversikan kembali hasil perhitungan penurunan tersebut kedalam besaran konstanta pegas hanya untuk menjawab pertanyaan ahli struktur? Para ahli struktur menanyakan angka tersebut karena ingin memasukkan parameter tersebut ke dalam program komputer yang mereka miliki. Sepanjang pengetahuan penulis program-program komputer tersebut tidak memasukkan parameter-parameter geoteknik, karena memang bukan dikembangkan untuk itu.
Suatu hal lagi yang perlu ditekankan disini model konstanta pegas itu berdasarkan asumsi tanah berprilaku linear atau elastik (juga sutatu pendekatan ahli struktur). Dalam kenyataannya sejak teori Wrikler itu dikembangkan (tahun 1867), 133 tahun telah lewat dan telah diketahui bahwa tanah tidaklah berprilaku elastik. Telah dikembangkan berbagai pemodelan tanah, dari mulai teori elastik, elasto-plastik, plastik, dan hingga ke Modified Cam Clay theory. Wrinkler diikuti Terzaghi menyederhanakan formulasi matematis ke dalam persamaan sederhana agar bisa diterapkan secara cepat oleh para engineer. Yang kemudian, seperti dibahas diatas, dikembangkan lebih lanjut oleh Vesic, Poulos dan Davis dan lain-lain pakar . Hingga era tahun-tahun 80-an dimana era komputer belum lagi seperti sekarang hal diatas dapat dimengerti. Namun, dalam era komputer seperti sekarang dimana hampir setiap engineer memiliki komputer pribadi yang sanggup menjalankan metoda finite element secara cepat dan murah, mengapa kita tidak menggunakan metoda finite element yang dikembangkan secara khusus untuk membahas soil structure interaction? Misalnya program PLAXIS yang dibuat untuk penerapakan geoteknik, dimana telah dimasukkan berbagai model tanah, dari model elastik, soft soil model, hard soil model hingga cam-clay model. Program teresebut telah dapat membahas soil structure interaction secara memadai, bahkan untuk pembebanan dinamis. Dan malah dalam waktu dekat akan dikeluarkan versi tiga dimensi-nya, dimana dengan program ini dapat dimodelkan pile raft foundation.
3. KESIMPULAN
Para ahli struktur sebaiknya berkomunikasi dengan ahli geoteknik dalam penerapan parameter konstanta pegas yang dapat dikatakan telah sedikit ketinggalan jaman ini.
Secara bersama ahli struktur dan ahli geoteknik membahas dan menyelesaikan masalah soil structure interaction ini. Ahli struktur dari segi struktur dan ahli geoteknik dari segi geoteknik.
Sedapat mungkin menggunakan model-model tanah yang lebih tepat dengan bantuan program komputer yang dikembangkan khusus untuk tujuan geoteknik. Namun, perlu pula diingat bahwa penentuan parameter tanah yang dipakai sangatlah penting. Ingat bahwa tidak perduli seberapa canggih program komputer tetap saja: "Garbage in Garbage out".
GTL, tahun 2001